
#HaiBunda, menjalani rumah tangga selama 16 tahun bukanlah hal yang mudah bagiku. Begitu banyak hal yang telah aku lalui.
Banyak orang yang bilang semakin lama hubungan pernikahan, maka akan semakin kuat. Tetapi entah kenapa aku merasa tidak seperti itu Bun.. Justru banyak kesedihan yang kurasakan setelah menikah. Semua bayangan indah seakan hilang seiring dengan bertambahnya usia pernikahanku.
Sosok seorang suami semula kuanggap bisa menjadi tempat bersandar dan bergantung justru berbalik menghujaniku dengan kekecewaan dan kesedihan. Suamiku tidak mau bekerja untuk menafkahiku. Dia pun akan memaki ketika aku meminta untuk kebutuhan pokok.
Bukan hanya itu, banyak hal yang sangat menyakitkan yang aku terima selama berumah tangga dengannya. Sampai kapan aku harus bersabar?
Demi menghidupi ketiga anak kami, aku terpaksa bekerja menjadi buruh cuci gosok di rumah rumah orang. Selain itu, di awal pernikahan aku juga sudah bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga (ART). Untungnya, aku memiliki majikan yang baik, dia memberikan fasilitasi rumah, kami pun tinggal di sana.
Kekecewaanku memuncak saat anak pertama lahir suamiku tidak tergerak hatinya untuk mencari uang untuk kebutuhan keluarga. Belum lagi di tahun kedua pernikahan suamiku menjadi pelaku pelecehan terhadap adikku yang baru berusia 16 tahun.
Aku sungguh murka sehingga memberanikan diri untuk meminta perpisahan. “Lebih baik kita pisah!” ucapku kala itu berusaha untuk tegas tapi dengan suara bergetar. Dia tidak berkata apa pun, tak lama kemudian dia menghampiri, “Ayah minta maaf Mah, Ayah khilaf tidak akan mengulanginya lagi, dan Ayah berjanji akan mulai mencari pekerjaan.” Bodohnya aku mempercayainya dan kami pun berdamai.
Di tahun ke-4 pernikahan, kami akhirnya mempunyai rumah sendiri karena hasil bagi waris orang tua suami. Kami pun dengan senang hati pindah ke sana. Aku merasa sangat bahagia walaupun rumah kecil, kehidupan kami perlahan-lahan membaik. Suami pun sudah mau mulai bekerja walaupun hanya sebagai buruh.
Namun, dia tidak pernah memberikan gajinya sepeser pun kepadaku. “Ayah si Dede perlu membayar sekolah” ucapku. “Ayah belum dibayar Mah!” Selalu saja itu yang dia ucapkan sampai berbulan-bulan. Hingga akhirnya ku sadar ternyata dia habiskan semua uang gajinya untuk dia sendiri.
Aku merasa malu, selama ini selalu menumpang makan di rumah orang tuaku. Ibuku sering menangis, “Ya Allah Nak, kamu tuh punya suami tapi masih harus terus mencari nafkah.. Sampai hamil besar pun masih nyuci gosok di rumah orang.” Sebenarnya aku tidak mau masih merepotkan kedua orang tuaku, tapi aku bingung harus minta tolong ke siapa lagi.
Sakit hati rasanya, entah kapan suamiku akan tersadar padahal anak-anaknya sudah mulai bersekolah. Aku malu ketika adikku harus turun tangan membantu mengeluarkan biaya untuk pendidikan anak-anak kami. Tak hanya itu, bahkan biaya persalinan pun adikku yang membayarnya.
Setiap hari aku tak putus berdoa agar suamiku tersadar.. Aku tidak tahu harus bagaimana, sampai saat ini pun dia tetap tidak mau sadar akan kewajibannya sebagai seorang suami dan Ayah.
– Bunda C, Jakarta –
Mau berbagi cerita juga, Bun? Yuk cerita ke Bubun, kirimkan lewat email [email protected]. Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.
(pri/pri)